Hari gini liat masalah sana sini di Indonesia rasanya mumet banget. Kemacetan, korupsi, fenomena angkot, dsb. Sepertinya ini tidak akan terjadi kalau saja pemerintah tidak setengah-setengah dalam memberantas masalah yang ada alias tegas. Contohnya masalah yang baru-baru muncul tentang ANGKOT (Angkutan Kota) di Jakarta, yang belakangan ini terjadi pemerkosaan seorang karyawati di dalam angkot. Lalu setelah kejadian itu baru pemerintah memberi tindakan, seperti razia angkot, melepas kaca film yang tidak sesuai standar, dsb. Sampai-sampai para supir angkot yang tidak mempunyai sim, memakai sandal jepit dan kaos oblong, angkot tidak punya perlengkapan keamanan, dsb, semua menjadi sangat tersorot. Jadi pemerintah selama ini kemana saja?? Ini menandakan lemahnya pengawasan pemerintah selama ini.
Lalu satu contoh lagi, kemacetan di Jakarta yang begitu parahnya dan membuat semua orang stres menghadapinya, salah siapa? Motor, mobil, bus saling salip menyalip, berhenti dan parkir sembarang tempat, menembus lampu merah, pengendara tak mempunyai surat-surat (SIM, STNK), tak memakai helm, dll. Tentunya pemerintah yang berwenang di negeri ini jika tegas dari awal tidak mungkin para pelanggar diatas seenak jidat melanggar peraturan sana sini, membuat peraturan saja tidak becus, apalagi menerapkannya. Ketika masalah sudah memuncak baru bertindak. Penertiban tiba-tiba pastilah membuat kesal si pelanggar peraturan.
Saya disini tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah atas masalah-masalah yang ada. Tapi seandainya bapak-bapak dan Ibu-ibu yang duduk di kursi pemerintahan lebih tegas, tidak NATO, mungkin masalah-masalah yang kecil bisa teratasi sebelum menjadi besar.
Kamis, 22 September 2011
Rabu, 21 September 2011
Rok Mini dan Angkot
Akhir pekan lalu Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengeluarkan tiga pertanyaan. Tetapi hanya satu yang lebih menarik perhatian orang ketimbang dua sisanya. Yakni anjuran kepada perempuan agar tidak memakai rok mini ketika berada di dalam angkutan kota.
Pernyataan Fauzi Bowo memang tidak sekasar pernyataan Bupati Aceh Barat Ramli Mansur (“Perempuan yang tidak berpakaian sesuai syariah, seperti minta diperkosa”). Tetapi pada dasarnya baik Fauzi maupun Ramli punya kesalahan pikiran yang sama. Yaitu bila laki-laki terangsang, maka itu salah perempuan.
Karena ini memiliki konsekuensi pada kehidupan publik, maka harus dipersoalkan.
Pernyataan Fauzi Bowo yang pertama berbunyi, pemerintah provinsi akan membahas serius kasus perkosaan di angkutan kota. Dinas Perhubungan pun akan bekerja mengambil tindakan perbaikan.
Pernyataan kedua berbunyi, warga perlu berupaya mengamankan diri mereka sendiri senyampang pemerintah mengupayakan berbagai perbaikan.
Tidak ada yang salah dari kedua pernyataan di atas. Itulah seharusnya penyataan seorang pejabat publik.
Yang mengherankan, mengapa muncul pernyataan ketiga itu, yang lalu membuat khalayak tidak lagi memperhatikan dua pernyataan sebelumnya? Kata orang, rusak susu sebelanga oleh nila setitik.
Fauzi Bowo mungkin menganggap pernyataan ketiga itu sebagai suatu lelucon. Tetapi itu adalah lelucon yang buruk dalam suatu masyarakat metropolitan yang kosmopolitan dan plural.
Pernyataan ketiga itu muncul dari kelaki-lakian yang bias, yang mungkin sekali terbentuk dari lingkungan sosial dan budayanya sendiri. Dengan kata lain, itu adalah nilai pribadi yang tiba-tiba muncul ke ruang khalayak tanpa disaring. Tidak mengherankan kalau ada banyak laki-laki lain, yang dibesarkan dalam lingkungan sosial dan budaya yang serupa, yang mungkin sekali setuju dengan pernyataan itu.
Terhadap ini, para pemikir sudah punya argumennya sendiri, dan masih terus mengupayakan agar makin banyak masyarakat menyadari kesalahan itu. Yang gawat, dalam keadaan masyarakat seperti di atas, pernyataan Gubernur itu seperti suatu persetujuan atas kesalahan pikiran itu.
Inilah yang tidak layak muncul dari seorang pejabat publik. Ia seharusnya mengayomi seluruh warganya yang majemuk. Terhadap inilah masyarakat perlu menggugat beliau, agar pemerintah provinsi fokus saja pada pekerjaannya yang seharusnya: perbaiki (sistem) angkutan umum Jakarta!
dikutip dari www.yahoo.com, newsroom blog
Pernyataan Fauzi Bowo memang tidak sekasar pernyataan Bupati Aceh Barat Ramli Mansur (“Perempuan yang tidak berpakaian sesuai syariah, seperti minta diperkosa”). Tetapi pada dasarnya baik Fauzi maupun Ramli punya kesalahan pikiran yang sama. Yaitu bila laki-laki terangsang, maka itu salah perempuan.
Karena ini memiliki konsekuensi pada kehidupan publik, maka harus dipersoalkan.
Pernyataan Fauzi Bowo yang pertama berbunyi, pemerintah provinsi akan membahas serius kasus perkosaan di angkutan kota. Dinas Perhubungan pun akan bekerja mengambil tindakan perbaikan.
Pernyataan kedua berbunyi, warga perlu berupaya mengamankan diri mereka sendiri senyampang pemerintah mengupayakan berbagai perbaikan.
Tidak ada yang salah dari kedua pernyataan di atas. Itulah seharusnya penyataan seorang pejabat publik.
Yang mengherankan, mengapa muncul pernyataan ketiga itu, yang lalu membuat khalayak tidak lagi memperhatikan dua pernyataan sebelumnya? Kata orang, rusak susu sebelanga oleh nila setitik.
Fauzi Bowo mungkin menganggap pernyataan ketiga itu sebagai suatu lelucon. Tetapi itu adalah lelucon yang buruk dalam suatu masyarakat metropolitan yang kosmopolitan dan plural.
Pernyataan ketiga itu muncul dari kelaki-lakian yang bias, yang mungkin sekali terbentuk dari lingkungan sosial dan budayanya sendiri. Dengan kata lain, itu adalah nilai pribadi yang tiba-tiba muncul ke ruang khalayak tanpa disaring. Tidak mengherankan kalau ada banyak laki-laki lain, yang dibesarkan dalam lingkungan sosial dan budaya yang serupa, yang mungkin sekali setuju dengan pernyataan itu.
Terhadap ini, para pemikir sudah punya argumennya sendiri, dan masih terus mengupayakan agar makin banyak masyarakat menyadari kesalahan itu. Yang gawat, dalam keadaan masyarakat seperti di atas, pernyataan Gubernur itu seperti suatu persetujuan atas kesalahan pikiran itu.
Inilah yang tidak layak muncul dari seorang pejabat publik. Ia seharusnya mengayomi seluruh warganya yang majemuk. Terhadap inilah masyarakat perlu menggugat beliau, agar pemerintah provinsi fokus saja pada pekerjaannya yang seharusnya: perbaiki (sistem) angkutan umum Jakarta!
dikutip dari www.yahoo.com, newsroom blog
Rabu, 14 September 2011
Batasan Lahan
Lahan adalah sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Contohnya, mendengarkan musik, menonton tv, dan sebagainya. Banyak dari kita yang bingung. Bukan tidak tahu, tapi karena tidak bisa meninggalkan. Bahkan ada yang berujar, tak bisa hidup tanpa lahan. Benarkah? Mari kita kembali kepada pokok masalahnya – lahan. Apa dan bagaimana batasannya? Ini yang perlu diketahui dan dipahami agar kita tidak salah ucap dan salah sebut.
Dari Abu Huroiroh r.a., dia berkata,’Bersabda Rasululloh SAW; “Sebagian dari tanda bagusnya islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermakna baginya.” (Rowahu at-Tirmidzi, hadza hadistun hasanun (2317), Ibnu Majah (3976)).
Inilah salah satu atsar yang bisa dijadikan acuan dalam memahami masalah lahan. Yaitu manfaat dan tidaknya bagi kita. Imam an-Nawawi - (pensyarah Shohih Muslim) – memberikan penjelasan hadist ini sebagai berikut. Orang islam yang baik – sempurna adalah yang mampu meninggalkan segala hal yang tidak penting atau tidak berguna baginya berkenaan dengan urusan agama dan urusan dunia, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir (I/587) dijelaskan, ketika Abu Dzar bertanya kepada Nabi SAW tentang Shuhuf Ibrohim, Nabi menjelaskan, di dalam Shuhuf Ibrohim disebutkan, “Barangsiapa menghitung perkataannya sebagai bagian dari amalnya, maka dia akan sedikit bicara, kecuali dalam hal yang bermakna baginya.” Di akhir riwayat - Abu Dzar berkata lagi, “Berikan aku tambahan!” Beliau SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dianggap jahat apabila dia tidak mengerti akan dirinya sendiri dan berpayah – payah melakukan apa – apa yang tidak bermakna baginya. Wahai Abu Dzar, tidak ada akal yang lebih baik daripada pengaturan, tidak ada sikap wara’ yang lebih baik daripada pengendalian diri, dan tidak ada kebaikan melebihi kebaikan akhlaq.”
Jadi, untuk mengusir lahan, isilah setiap detik hidup kita dengan hal yang bermakna. Inilah resep terhindar dari lahan.
Selamat berjuang…!!!!!!
Dari Abu Huroiroh r.a., dia berkata,’Bersabda Rasululloh SAW; “Sebagian dari tanda bagusnya islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermakna baginya.” (Rowahu at-Tirmidzi, hadza hadistun hasanun (2317), Ibnu Majah (3976)).
Inilah salah satu atsar yang bisa dijadikan acuan dalam memahami masalah lahan. Yaitu manfaat dan tidaknya bagi kita. Imam an-Nawawi - (pensyarah Shohih Muslim) – memberikan penjelasan hadist ini sebagai berikut. Orang islam yang baik – sempurna adalah yang mampu meninggalkan segala hal yang tidak penting atau tidak berguna baginya berkenaan dengan urusan agama dan urusan dunia, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir (I/587) dijelaskan, ketika Abu Dzar bertanya kepada Nabi SAW tentang Shuhuf Ibrohim, Nabi menjelaskan, di dalam Shuhuf Ibrohim disebutkan, “Barangsiapa menghitung perkataannya sebagai bagian dari amalnya, maka dia akan sedikit bicara, kecuali dalam hal yang bermakna baginya.” Di akhir riwayat - Abu Dzar berkata lagi, “Berikan aku tambahan!” Beliau SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dianggap jahat apabila dia tidak mengerti akan dirinya sendiri dan berpayah – payah melakukan apa – apa yang tidak bermakna baginya. Wahai Abu Dzar, tidak ada akal yang lebih baik daripada pengaturan, tidak ada sikap wara’ yang lebih baik daripada pengendalian diri, dan tidak ada kebaikan melebihi kebaikan akhlaq.”
Jadi, untuk mengusir lahan, isilah setiap detik hidup kita dengan hal yang bermakna. Inilah resep terhindar dari lahan.
Selamat berjuang…!!!!!!
Langganan:
Postingan (Atom)