Berbagai cara dilakukan orang untuk menyambut Hari Ibu, yang jatuh hari ini, Kamis - 22 Desember. Di kantor, para teman perempuan sepakat pakai baju bernuansa hijau – hijau. Teman sebelah bilang, harusnya para perempuan libur untuk menyambutnya. Sampai – sampai di rumah pun istri sempat bilang, seharusnya hari ini ia jadi ratu, gak usah masak, gak usah ngapa-ngapain, tetapi dimulyakan. Sebab hari ini adalah hari ibu. Saya tidak mengerti kenapa harus begitu?
Setiap orang mempunyai Ibu. Setiap orang dilahirkan dari rahim seorang wanita. Itulah ibunya. Nah, menurut hemat saya, seharusnya di waktu yang baik ini mari kita pergunakan untuk mengoreksi kembali apa yang sudah kita lakukan kepada ibu kita masing – masing. Apakah sudah kita penuhi hak – haknya? Sudah maksimal? Apa yang bisa kita ambil dari ini semua?
Dahulu, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 2548)
Banyak salah kaprah yang terjadi dalam memahami hadits ini. Kebanyakan hanya berkutat pada intensitas dan kualitas dalam membina hubungan dengan orang tua, terutama Ibu. Umumnya memberi makna bahwa berbakti, berbuat baik kepada Ibu itu harus lebih baik dan lebih banyak daripada kepada Bapak. Gampangnya ¾ porsi untuk Ibu, sedangkan ¼ nya kepada Bapak. Sebab seorang Ibulah yang berperan besar dalam kehidupan seseorang, mulai dari mengandung, melahirkan, menjaga, mendidik dan membesarkan seseorang. Ibu memang berperan langsung. Beda dengan Bapak yang berperan tidak langsung. Pendapat ini tidak salah, hanya perlu pendalaman agar lebih mumpuni dan mempunyai greget dalam menebarkan kebaikan di muka bumi Allah ini.
Tengoklah cerita banjir di jaman Nabi Nuh AS. Ketika air sudah menenggelamkan dunia, seorang Ibu berteriak memanggil anaknya, menggendongnya biar selamat dari banjir. Tatkala air terus naik hingga sampai ke daun telinga, si Ibu mengangkat anaknya di atas kepala. Sayang, tak ada yang selamat pada hari itu, kecuali orang yang di perahu. Seorang ibu rela berkorban demi sang anak.
Di jaman Nabi Sulaiman AS, ada pertengkaran sengit dua orang ibu memperebutkan anak. Sampailah pertengkaran itu kepada Nabi Sulaiman AS. Kemudian Nabi Sulaiman AS memutuskan akan membelah bayi itu menjadi 2, agar masing – masing mendapat bagian. Separo ewang. Sang Ibu yang asli menangis tak tega anaknya dibelah dan rela menyerahkan kepada lawannya agar anak itu selamat. Apapun dilakukan seorang Ibu agar anaknya selamat.
Di jaman Nabi Muhammad SAW ada kisah Al-Qomah, yang durhaka kepada Ibunya. Sahabat ini kesulitan ketika akan meninggal dunia. Ia tidak bisa mengucapkan kalimat tauhid – laailaaha illallaah. Lalu Nabi menengarai ada yang tidak beres, kemudian dipanggilah Ibunya. Sampai panggilan ketiga, si Ibu tak jua mau datang. Akhirnya Nabi mengancam akan membakar al-Qomah jika Ibunya tak mau datang. Akhirnya, si Ibu datang dan memaafkan al-Qomah. Kematian pun lancar berjalan. Demi anak, seorang Ibu rela memaafkan melupakan sakit tak terperi.
Sedulur, sudah sepantasnya jika kita membalas semua kebaikan seorang ibu tersebut. Walau itu bersifat kodrati. Kebaikan berbalas kebaikan. Jangan sampai air susu dibalas air tuba. Itu namanya keterlaluan. Walau banyak cerita anak durhaka di dunia ini, tetapi agama tetap memerintahkan anak wajib berbakti kepada kedua orang tua. Bahkan sebuah nyanyian di kala kecil dulu menggambarkan hal ini dengan sangat baiknya;
Kasih ibu kepada beta/
Tak terhingga sepanjang masa/
Hanya memberi tak harap kembali/
Bagai sang surya menyinari dunia.
Lagu ini begitu indah menggambarkan perjuangan dan dedikasi seorang Ibu kepada anaknya. Dan mengingatkan kita untuk selalu berbuat baik kepadanya. Hampir semua kita menghafalnya. Namun, jangan sampai hanya sekedar jadi hafalan. Sebab dari lagu inilah kita bisa belajar apa maksud sabda Nabi SAW di atas. Yaitu agar kita bisa meneladani sikap yang ditunjukkan dalam figur seorang Ibu di keseharaian kita. Tidak hanya ta’dhim, menghormat, berbudi yang baik, meramut dan menjaganya. Sikap itu adalah memberi.
Tengoklah, sebenarnya dalam keseharian kita lebih suka dengan ”bahasa” meminta daripada memberi. Di rumah kita meminta perhatian pasangan kita, meminta anak-anak memahami kita, meminta pembantu melayani kita. Di tempat kerja, kita meminta bantuan bawahan, meminta pengertian rekan sejawat, dan meminta gaji yang tinggi pada atasan. Di masyarakat, mereka yang mengaku sebagai pemimpin selalu meminta pengertian dan kesabaran masyarakat, meminta masyarakat hidup sederhana dan mengencangkan ikat pinggang. Mengapa kita suka meminta tetapi sulit memberi? Apakah mereka tidak punya Ibu? Inilah persepsi lain dari sekedar berbuat baik dan menghormati Ibu. Yaitu belajar menjadi seorang Ibu dalam kehidupan yang sebenarnya yaitu dalam aplikasi memberi ini. Lihatlah, apakah seorang Ibu perhitungan dalam memberikan kasih sayang? Air susu yang keluar tidak mungkin bisa ditarik - masuk kembali.
Jangan salah, memberi tak selalu harus berkaitan dengan uang dan materi. Kahlil Gibran mengatakan, ''Bila engkau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu. Bila engkau memberi dari dirimu itulah pemberian yang penuh arti.” Ada banyak sekali kesempatan bagi kita untuk memberi. Anda bisa memberikan perhatian, pengertian, waktu, energi, pemikiran, pujian, dan ucapan terima kasih. Anda bisa memberikan jalan bagi pengendara mobil lain di jalan raya. Anda juga bisa sekedar memberikan senyuman. Hal-hal yang sederhana ini dapat berarti banyak bagi orang lain.
Orang yang enggan memberi adalah mereka yang tak pernah belajar dari kehidupan itu sendiri. Seperti orang yang tidak pernah punya Ibu. Padahal esensi kehidupan adalah memberi. Tuhan sebagai sumber kehidupan adalah Sang Maha Pemberi. Lihatlah, betapa Tuhan telah memberikan segalanya tanpa pilih kasih, tak peduli kita baik ataupun jahat. Inilah unconditional love, sebuah cinta tanpa syarat. Demikian juga dengan seorang Ibu.
Jadi, kalau memang ingin merenung di Hari Ibu ini, simaklah baik – baik sedikit pituah di atas perihal memberi. Semoga tidak salah langkah. Memang di dalam surat Az-Zukhruf ayat 18, Allah menjelaskan bahwa wanita itu suka perhiasan dan tidak jelas. ”Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” Oleh karenanya, kenapa Nabi mengulangnya 3 kali dalam memahami seorang Ibu, sebab sifat bawaan wanita yang penuh ketidakpastian dan susah untuk dimengerti. Untuk itu perlu kerja ekstra dan sedikit memaksa.